Arsitektur Belanda, “Memanusiakan Dunia”

Rem Koolhaas

Masa kecil saya banyak dihabiskan mengunjungi desa kelahiran ayah di Kraguman, Klaten, Jawa Tengah, 20 km dari Jogjakarta. Ada salah satu hiburan yang cukup menyenangkan bagi saya waktu itu, berkunjung ke pabrik gula.

Ya, kira-kira 1 kilometer dari desa Kraguman, di tepi jalan raya Jogja – Solo, berdiri salah satu pabrik gula (PG) tertua di Indonesia, Gondang Winangoen. Pusat pengolahan tebu ini dibangun tahun 1860 oleh N.V. Klatensche Cultur Maatschappij dan hingga kini masih berproduksi.

Kebetulan paman ditempatkan di PG Gondang Winangoen. Beliau sekeluarga menghuni rumah dinas dalam lingkungan pabrik. Saya beberapa kali menginap di salah satu kamarnya.

Saya sangat terkesan, bukan karena kemewahan, melainkan dari kenyamanan ruang dalam. Kala mentari bersinar terik, bercengkrama di dalamnya sangat sejuk. Sama nyamannya untuk ditinggali dibanding kamar hotel berpendingin udara.

Karya arsitektur tersebut merupakan jawaban logis arsitek-arsitek Belanda menanggapi iklim tropis yang panas dan lembab. Ilmu dan pengetahuan rancang bangun diterapkan untuk menciptakan kondisi hidup yang lebih baik. Karya sejenis yang sejaman digolongkan ke dalam aliran Indo Europeeschen architectuur stijl (Langgam arsitektur indo-eropa), memadukan Eropa dan kearifan lokal.

Entah kebetulan atau tidak, kemashyuran Belanda dalam penegakan hak asasi manusia di dunia modern juga tercermin dalam arsitektur. Terutama dengan menciptakan terobosan-terobosan yang meningkatkan kualitas kehidupan manusia sehari-hari.

Salah satu tokoh yang berpengaruh dalam “arsitektur humanis” ini Remment Lucas Koolhaas. Tak banyak yang tahu, Rem Koolhaas pernah tinggal di Indonesia dari 1952 – 1955. Pengalaman Rem bersentuhan dengan nilai-nilai Asia di Indonesia sangat berpengaruh dan sedikit banyak membentuk gaya arsitekturnya yang menempatkan manusia sebagai subjek pengguna; mementingkan ketercapaian (accessibility) dan kemudahan pergerakan.

Tempat tinggal yang dirancang Rem Koolhaas di perbukitan dekat kota Bordeaux, Prancis Selatan, menunjukkan empati pada kebutuhan khusus sebuah keluarga. Tidak lama setelah ingin rumah baru, sang suami menderita kecelakaan lalu lintas sehingga lumpuh dan harus berkursi roda ke mana-mana.

Maison a Bordeaux. Memudahkan mobilitas pemilik yang berkursi roda.

Alih-alih menciptakan bangunan konvensional ramah  difabel, tambahan fasilitas untuk kursi roda, Rem justru merancang “kamar” berukuran 3 x 3,5 meter persis di tengahnya. Ruang spesial ini berupa anjungan yang dapat bergerak naik turun layaknya lift, menghubungkan ketiga tingkat.

Fungsinya sebagai tempat kerja sang suami, seorang editor harian terkemuka di Perancis. Di sepanjang dinding mulai lantai dasar hingga lantai tiga dibuat perpustakaan mini dan kumpulan lukisan yang hanya dapat dijangkau jika lift naik-turun. Benar-benar panggung istimewa untuk kepala keluarga.

Maison a Bordeaux. Tampak luar.

Apabila ingin mendalami seni merancang bangunan, Belanda tempat yang tepat. Sejarah panjang pendidikan arsitektur dapat ditelusuri sejak tahun 1800-an. Belanda juga termasuk pelopor perkembangan arsitektur modern lewat HP Berlage, Gerrit Rietveld, dan pengusung langgam Amsterdam School.

Sekolah favorit yang dapat dituju misalnya TU Delft. Tak ketinggalan Berlage Institute di Rotterdam, Universitas Maastricht, Universitas Eindhoven, RAVB di Rotterdam, Sekolah Seni Amsterdam, dan Akademi Arsitektur Arnhem.

Kini, setiap kali memasuki bangunan peninggalan Belanda – apalagi yang terawat, saya selalu merasa diajak untuk menikmati kreasi yang memanusiakan dunia.

Leave a comment